Dalam sehari aku merasa lelah, tapi aku tetap memaksakan diri untuk bekerja dan mengejar ambisi. Aku sering mengabaikan rasa lapar, kurang tidur atau bahkan melewatkan olahraga dengan alasan kesibukan. Tanpa disadari, aku sering kali memperlakukan tubuhku dengan cara yang tidak adil, seakan-akan tubuh ini hanyalah alat yang bisa terus dipaksa bekerja tanpa henti. Sepertinya aku jahat pada diri ini, sudah saatnya aku mulai memahami bahwa tubuh bukanlah mesin yang ditakdirkan hanya menunjang aktivitasku tanpa perawatan. Memenuhi hak tubuh adalah bentuk tanggung jawab terhadap diriku. Dengan menjaga kesehatan fisik dan mental, aku tidak hanya meningkatkan kualitas hidup tetapi juga memperpanjang usia produktif, seperti banyaknya pemuka yang mengampanyekan hidup sehat adalah investasi. Oleh karena itu, perubahan harus dimulai dengan kesadaran akan pentingnya merawat tubuhku. Aku terlalu jumawa dengan merasa aku adalah orang yang mampu dalam segala hal jika aku pelajarinya. Bisa saja,...
![]() |
Kini aku paham bahwa usia yang bertambah bukan menjadi tolak ukur kedewasaanku juga bertambah. Saat di usiaku ini, arti dari sebuah jarak bukan hanya tentang kilometer yang memisahkan, tetapi juga tentang hati yang perlahan menjauh. Ada satu momen di mana seorang anak menyadari bahwa waktu telah melahirkan dinding tak kasatmata antara dirinya dan orang di rumah, seolah rasa rindu terhadap rumah kian menjadi hal yang tabu bahkan menjadi gengsi.
Dulu, setiap kedatangan aku ke rumah adalah cerita. Ada tawa yang mengalir di meja makan, ada tangan hangat yang selalu siap menyentuh kepala sebagai tanda kasih. Namun, kedewasaan sering kali datang bersama kesibukan yang mengikis kebiasaan.
Kepulangan menjadi sekadar formalitas, percakapan menjadi sekadar tanya jawab tanpa makna dan perhatian berganti menjadi balasan pesan singkat yang tak lebih dari formalitas bentuk adab menghormati. Apa yang hilang? Rindu.
Pernah aku baca sebuah penelitian tentang hubungan sosial yang sehat, termasuk hubungan dengan orangtua adalah faktor utama yang berkontribusi terhadap kebahagiaan dan kesehatan jangka panjang seseorang. Sayangnya, aku baru menyadari hal ini setelah semuanya terlambat karena situasi yang kubangun tanpa sadar membuatnya menjadi nuansa yang berbeda dari masa kecilku dulu.
Dulu, setiap kedatangan aku ke rumah adalah cerita. Ada tawa yang mengalir di meja makan, ada tangan hangat yang selalu siap menyentuh kepala sebagai tanda kasih. Namun, kedewasaan sering kali datang bersama kesibukan yang mengikis kebiasaan.
Kepulangan menjadi sekadar formalitas, percakapan menjadi sekadar tanya jawab tanpa makna dan perhatian berganti menjadi balasan pesan singkat yang tak lebih dari formalitas bentuk adab menghormati. Apa yang hilang? Rindu.
Pernah aku baca sebuah penelitian tentang hubungan sosial yang sehat, termasuk hubungan dengan orangtua adalah faktor utama yang berkontribusi terhadap kebahagiaan dan kesehatan jangka panjang seseorang. Sayangnya, aku baru menyadari hal ini setelah semuanya terlambat karena situasi yang kubangun tanpa sadar membuatnya menjadi nuansa yang berbeda dari masa kecilku dulu.
Semakin aku tumbuh, aku sering lupa bahwa orangtuaku juga menua. Aku sibuk dengan kehidupan, pekerjaan dan ambisi, hingga tanpa sadar mereka yang dulu kuat mulai berjalan lebih lambat, berbicara lebih pelan dan lebih sering menatap kosong ke arah pintu menunggu aku pulang. Mereka tak pernah meminta banyak, hanya sekadar kabar, waktu dan perhatian.
Dunia saat ini membuat segalanya serba cepat. Notifikasi dari media sosial lebih cepat kita respon dibanding pesan dari ibu. Janji makan malam dengan rekan kerja maupun teman lebih mudah kita tepati dibanding janji pulang lebih awal untuk menemani ayah menonton berita terkini. Aku lupa bahwa waktu yang aku habiskan untuk hal lain adalah waktu yang tak akan pernah bisa aku kembalikan untuk mereka.
Aku sadar ini adalah masalah. Masalah yang membuatku masih mencari sebab apa yang membuatku merasa tidak selalu puas atas apa yang telah aku dapatkan.
Mungkin, kebahagiaan bukan tentang seberapa jauh kita berhasil melangkah, melainkan seberapa banyak kenangan yang kita ciptakan bersama orang-orang yang benar-benar peduli pada kita. Aku merindukan obrolan ringan dengan ibu di sore hari sambil menyeruput teh hangat, aku merindukan nasihat ayah yang dulu sering kali kuanggap berlebihan dan aku merindukan rasa nyaman yang hanya bisa ditemukan di rumah.
Setelah menyadari betapa jauhnya aku dari rumah, bukan hanya dalam arti fisik tetapi juga dalam makna emosional, aku mulai mencoba mengubah kebiasaan. Aku mulai membalas pesan ibu lebih cepat, mencoba menelepon ayah setidaknya sekali seminggu dan memastikan untuk pulang lebih sering meski hanya untuk menghabiskan waktu sebentar. Aku sadar bahwa mereka tidak akan selamanya ada dan aku tidak ingin menyesal di kemudian hari karena tak pernah benar-benar memberikan waktu untuk mereka.
Perjalanan ini membawaku pada kesadaran bahwa cinta sejati bukan hanya tentang memberi materi, tetapi juga tentang kehadiran. Kita bisa memberikan hadiah paling mahal sekalipun, tetapi bagi orangtua, hadiah terbaik adalah melihat anaknya pulang dan menghabiskan waktu bersama mereka.
Dunia saat ini membuat segalanya serba cepat. Notifikasi dari media sosial lebih cepat kita respon dibanding pesan dari ibu. Janji makan malam dengan rekan kerja maupun teman lebih mudah kita tepati dibanding janji pulang lebih awal untuk menemani ayah menonton berita terkini. Aku lupa bahwa waktu yang aku habiskan untuk hal lain adalah waktu yang tak akan pernah bisa aku kembalikan untuk mereka.
Aku sadar ini adalah masalah. Masalah yang membuatku masih mencari sebab apa yang membuatku merasa tidak selalu puas atas apa yang telah aku dapatkan.
Mungkin, kebahagiaan bukan tentang seberapa jauh kita berhasil melangkah, melainkan seberapa banyak kenangan yang kita ciptakan bersama orang-orang yang benar-benar peduli pada kita. Aku merindukan obrolan ringan dengan ibu di sore hari sambil menyeruput teh hangat, aku merindukan nasihat ayah yang dulu sering kali kuanggap berlebihan dan aku merindukan rasa nyaman yang hanya bisa ditemukan di rumah.
Setelah menyadari betapa jauhnya aku dari rumah, bukan hanya dalam arti fisik tetapi juga dalam makna emosional, aku mulai mencoba mengubah kebiasaan. Aku mulai membalas pesan ibu lebih cepat, mencoba menelepon ayah setidaknya sekali seminggu dan memastikan untuk pulang lebih sering meski hanya untuk menghabiskan waktu sebentar. Aku sadar bahwa mereka tidak akan selamanya ada dan aku tidak ingin menyesal di kemudian hari karena tak pernah benar-benar memberikan waktu untuk mereka.
Perjalanan ini membawaku pada kesadaran bahwa cinta sejati bukan hanya tentang memberi materi, tetapi juga tentang kehadiran. Kita bisa memberikan hadiah paling mahal sekalipun, tetapi bagi orangtua, hadiah terbaik adalah melihat anaknya pulang dan menghabiskan waktu bersama mereka.
Kini, aku mencoba menjalani hari-hariku dengan lebih sadar. Aku berusaha tidak membiarkan kesibukan menghapus hubungan yang sebenarnya lebih penting dari sekadar pencapaian karier atau kesuksesan materi. Aku belajar bahwa kedewasaan sejati bukan hanya tentang seberapa mandiri kita bisa hidup sendiri, tetapi juga tentang bagaimana kita tetap terhubung dengan akar tempat kita berasal.
Mungkin bagi sebagian orang, rumah adalah tempat yang biasa-biasa saja, hanya sekadar bangunan dengan kenangan. Namun, bagi yang menyadari esensinya, rumah adalah tempat kita kembali, tempat di mana kita tidak perlu berpura-pura kuat, tempat di mana kita diterima tanpa syarat, dan tempat di mana cinta tidak pernah berkurang meskipun jarak sering kali memisahkan.
Aku tidak ingin membiarkan waktu mencuri lebih banyak momen berharga yang seharusnya bisa kunikmati bersama mereka. Aku ingin memastikan bahwa ketika aku kembali ke rumah, bukan hanya tubuhku yang hadir, tetapi juga hatiku. Aku ingin membuat percakapan kembali bermakna, rindu kembali terasa dan kebiasaan yang dulu hilang bisa kembali hidup.
Sebab pada akhirnya, bukan tentang seberapa jauh aku pergi, melainkan tentang seberapa sering aku pulang dengan hati yang utuh.
Mungkin bagi sebagian orang, rumah adalah tempat yang biasa-biasa saja, hanya sekadar bangunan dengan kenangan. Namun, bagi yang menyadari esensinya, rumah adalah tempat kita kembali, tempat di mana kita tidak perlu berpura-pura kuat, tempat di mana kita diterima tanpa syarat, dan tempat di mana cinta tidak pernah berkurang meskipun jarak sering kali memisahkan.
Aku tidak ingin membiarkan waktu mencuri lebih banyak momen berharga yang seharusnya bisa kunikmati bersama mereka. Aku ingin memastikan bahwa ketika aku kembali ke rumah, bukan hanya tubuhku yang hadir, tetapi juga hatiku. Aku ingin membuat percakapan kembali bermakna, rindu kembali terasa dan kebiasaan yang dulu hilang bisa kembali hidup.
Sebab pada akhirnya, bukan tentang seberapa jauh aku pergi, melainkan tentang seberapa sering aku pulang dengan hati yang utuh.
Terhubung Imaji - 2025



Comments
Post a Comment